CVA
(CEREBRO VASCULAR ACCIDENT) INFARK
1.
KONSEP
DASAR MEDIS
1.1 Pengertian
CVA (Cerebro Vascular Accident)
merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena
terjadinya gangguan peredaran darah otak yang dan bisa terjadi pada siapa saja
dan kapan saja dengan gejala-gejala berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabakan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses
berpikir, daya ingat dan bentuk-bentuk kecacatan lain hingga menyebabkan kematian
(Muttaqin, 2008:234).
CVA Infark adalah
sindrom klinik yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit
neurologi fokal atau global yang berlangsung 24 jam terjadi karena
trombositosis dan emboli yang menyebabkan penyumbatan
yang bisa terjadi di
sepanjang jalur pembuluh darah arteri
yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis
interna dan dua arteri vertebralis.
Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung (arcus aorta) (Suzanne, 2002: 2131)
1.2 Etiologi
menurut.
Ada beberapa
penyebab CVA infark (Muttaqin, 2008: 235)
1. Trombosis
serebri
Terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti
disekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau
bangun tidur. Terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan
darah. Trombosis serebri ini disebabkan karena adanya:
- Aterosklerostis:
mengerasnya/berkurangnya kelenturan dan elastisitas dinding pembuluh darah
- Hiperkoagulasi:
darah yang bertambah kental yang akan menyebabkan viskositas/ hematokrit
meningkat sehingga dapat melambatkan aliran darah cerebral
- Arteritis:
radang pada arteri
2. Emboli
Dapat terjadi karena adanya penyumbatan pada
pembuluhan darah otak oleh bekuan darah, lemak, dan udara. Biasanya emboli
berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri
serebri. Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan emboli:
- Penyakit
jantung reumatik
- Infark
miokardium
- Fibrilasi
dan keadaan aritmia : dapat membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang dapat
menyebabkan emboli cerebri
- Endokarditis
: menyebabkan gangguan pada endokardium
1.3 Faktor resiko terjadinya stroke
Ada beberapa
faktor resiko CVA infark (Muttaqin, 2008: 236):
1. Hipertensi.
2. Penyakit
kardiovaskuler-embolisme serebri berasal dari jantung: Penyakit arteri
koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, abnormalitas irama (khususnya fibrilasi atrium),
penyakit jantung kongestif.
3. Kolesterol
tinggi
4. Obesitas
5. Peningkatan
hematokrit
6. Diabetes
Melitus
7. Merokok
1.4 Klasifikasi
Stroke
Berdasarkan patologi
serangannya (Brasherz, 2008: 274)
a.
Oklusi aterotrombotik
pada arteri ekstra kranial (terutama pada bitur kasio karotis atau
intrakranial)
b.
Kardioemboli akibat
fibrilasi atrial, infark miokard terbaru aneurismaventrikel, gagal jantung
kongestif/ penhyakit vaskular
c.
Lakunar akibat
infark cerebral dalam pada arteri lentikulostrista
d.
Hemodinamik akibat
penurunan perfusi cerebral global.
1.5 Tanda
dan Gejala
Menurut
Hudak dan Gallo dalam buku keperawatn Kritis (1996: 258-260), yaitu:
1. Lobus
Frontal
a. Deficit
Kognitif : kehilangan memori, rentang perhatian singkat, peningkatan
distraktibilitas (mudah buyar), penilaian buruk, tidak mampu menghitung,
memberi alasan atau berpikir abstrak.
b. Deficit
Motorik : hemiparese, hemiplegia, distria (kerusakan otot-otot bicara), disfagia
(kerusakan otot-otot menelan).
c. Defici
aktivitas mental dan psikologi antara lain : labilitas emosional, kehilangan
kontrol diri dan hambatan soaial, penurunan toleransi terhadap stres,
ketakutan, permusuhan frustasi, marah, kekacuan mental dan keputusasaan,
menarik diri, isolasi, depresi.
2. Lobus
Parietal
a. Dominan
:
1) Defisit
sensori antara lain defisit visual (jaras visual terpotong sebagian besar pada
hemisfer serebri), hilangnya respon terhadap sensasi superfisial (sentuhan,
nyeri, tekanan, panas dan dingin), hilangnya respon terhadap proprioresepsi
(pengetahuan tentang posisi bagian tubuh).
2) Defisit
bahasa/komunikasi
-
Afasia ekspresif
(kesulitan dalam mengubah suara menjadi pola-pola bicara yang dapat dipahami)
-
Afasia reseptif
(kerusakan kelengkapan kata yang diucapkan)
-
Afasia global (tidak
mampu berkomunikasi pada setiap tingkat)
-
Aleksia (ketidakmampuan
untuk mengerti kata yang dituliskan)
-
Agrafasia
(ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide-ide dalam tulisan).
b. Non
Dominan
Defisit perseptual (gangguan dalam
merasakan dengan tepat dan menginterpretasi
diri/lingkungan) antara lain:
-
Gangguan skem/maksud
tubuh (amnesia atau menyangkal terhadap ekstremitas yang mengalami paralise)
-
Disorientasi (waktu,
tempat dan orang)
-
Apraksia (kehilangan
kemampuan untuk mengguanakan obyak-obyak dengan tepat)
-
Agnosia (ketidakmampuan
untuk mengidentifikasi lingkungan melalui indra)
-
Kelainan dalam
menemukan letak obyek dalam ruangan
-
Kerusakan memori untuk
mengingat letak spasial obyek atau tempat
-
Disorientasi kanan kiri
3. Lobus
Occipital: deficit lapang penglihatan penurunan ketajaman penglihatan,
diplobia(penglihatan ganda), buta.
4. Lobus
Temporal : defisit pendengaran, gangguan keseimbangan tubuh
1.6 Pemeriksaan
Penunjang
Periksaan
penunjang pada pasien CVA infark:
1.
Laboratorium :
a.
Pada pemeriksaan
paket stroke: Viskositas darah pada apsien CVA ada peningkatan VD > 5,1 cp,
Test Agresi Trombosit (TAT), Asam Arachidonic (AA), Platelet Activating Factor (PAF),
fibrinogen (Muttaqin, 2008: 249-252)
b.
Analisis
laboratorium standar mencakup urinalisis, HDL pasien CVA infark mengalami penurunan HDL dibawah nilai normal 60 mg/dl,
Laju endap darah (LED) pada pasien CVA
bertujuan mengukur kecepatan sel darah merah mengendap dalam tabung darah LED yang
tinggi menunjukkan adanya radang. Namun LED tidak menunjukkan apakah itu radang
jangka lama, misalnya artritis, panel metabolic dasar
(Natrium (135-145 nMol/L),
kalium (3,6- 5,0 mMol/l),
klorida,) (Prince, dkk ,2005:1122)
2.
Pemeriksaan sinar X
toraks: dapat mendeteksi pembesaran jantung (kardiomegali) dan
infiltrate paru yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif (Prince,dkk,2005:1122)
3.
Ultrasonografi (USG) karaois: evaluasi standard
untuk mendeteksi gangguan aliran darah karotis dan kemungkinan
memmperbaiki kausa stroke (Prince,dkk ,2005:1122).
4.
Angiografi serebrum :
membantu menentukan penyebab dari stroke secara
Spesifik seperti lesi ulseratrif, stenosis, displosia
fibraomuskular, fistula arteriovena, vaskulitis
dan pembentukan thrombus di pembuluh besar (Prince, dkk
,2005:1122).
5.
Pemindaian dengan
Positron Emission Tomography (PET): mengidentifikasi seberapa besar
suatu daerah di otak menerima dan memetabolisme glukosa serta luas cedera
(Prince, dkk ,2005:1122)
6.
Ekokardiogram
transesofagus (TEE): mendeteksi sumber kardioembolus potensial
(Prince, dkk ,2005:1123).
7.
CT scan :
pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di
ventrikel atau menyebar ke permukaan otak
(Muttaqin, 2008:140).
8.
MRI : menggunakan
gelombang magnetik untuk memeriksa
posisi dan besar / luasnya daerah infark
(Muttaqin, 2008:140).
1.7 Penatalaksanaan
Ada bebrapa penatalaksanaan pada pasien dengan CVA infark
(Muttaqin, 2008:14):
1.
Untuk mengobati keadaan
akut, berusaha menstabilkan TTV dengan :
a. Mempertahankan
saluran nafas yang paten
b. Kontrol tekanan darah
c. Merawat
kandung kemih, tidak memakai keteter
d. Posisi
yang tepat, posisi diubah tiap 2 jam, latihan gerak pasif.
2. Terapi
Konservatif
a. Vasodilator
untuk meningkatkan aliran serebral
b. Anti
agregasi trombolis: aspirin untuk menghambat reaksi pelepasan agregasi
thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
c. Anti
koagulan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya trombosisiatau embolisasi
dari tempat lain ke sistem kardiovaskuler.
d. Bila
terjadi peningkatan TIK, hal yang dilakukan:
1) Hiperventilasi
dengan ventilator sehingga PaCO2 30-35 mmHg
2) Osmoterapi
antara lain :
- Infus
manitol 20% 100 ml atau 0,25-0,5 g/kg BB/ kali dalam waktu 15-30 menit, 4-6
kali/hari.
- Infus
gliserol 10% 250 ml dalam waktu 1 jam, 4 kali/hari
3) Posisi
kepala head up (15-30⁰)
4) Menghindari
mengejan pada BAB
5) Hindari
batuk
6) Meminimalkan
lingkungan yang panas
1.8 Komplikasi
Ada beberapa
komplikasi CVA infark (Muttaqin,
2008: 253)
1.
Dalam hal
imobilisasi:
a.
Infeksi pernafasan
(Pneumoni),
b.
Nyeri tekan pada
dekubitus.
c.
Konstipasi
2. Dalam hal paralisis:
a.
Nyeri pada
punggung,
b.
Dislokasi sendi,
deformitas
3. Dalam hal kerusakan otak:
a.
Epilepsy
b.
sakit kepala
4. Hipoksia serebral
5. Herniasi otak
6. Kontraktur
1.9 WOC (Terlampir)
2.
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian.
Pengkajian
asuhan keperawatan (Doengoes, 2000)
a. Identitas
biasanya
dialami oleh usia tua, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat dia alami
oleh usia muda, jenis kelamin, dan juga ras juga dapat mempengaruhi.
b. Keluhan
utama
Kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan
penurunan kesadaran pasien.
c. Riwayat
kesehatan sekarang
Stroke
infark mendadak saat istirahat atau bangun pagi,
d. Riwayat
penyakit dahulu
Adanya
riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit
jantung (terutama aritmia), penggunaan obat-obatan anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obesitas. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan
penyalahgunaan obat (kokain).
e. Riwayat
penyakit keluarga
Adanya
riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, atau adanya
riwayat stroke pada generasi terdahulu.
f. Riwayat
psikososial-spiritual
Biaya
untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga
sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien
dan keluarga. Perubahan hubungan dan peran terjadi karena pasien kesulitan
untuk berkomunikasi akibat sulit berbicara. Rasa cemas dan takut akan
terjadinya kecacatan serta gangguan citra diri.
g. Kebutuhan
1) Nutrisi
: adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut, kehilangan
sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia ditandai dengan
kesulitan menelan, obesitas
2) Eliminasi
: menunjukkan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine,
anuria. Adanya distensi abdomen (distesi bladder berlebih), bising usus negatif
(ilius paralitik), pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltik usus
3) Aktivitas
: menunjukkan adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah, gangguan tonus otot, paralitik
(hemiplegia)
4) Istirahat
: klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri otot
2.2 Pemeriksaan
Fisik
a. Sistem
Respirasi (Breathing) : batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, serta perubahan kecepatan dan kedalaman
pernafasan. Adanya ronchi akibat peningkatan produksi sekret dan penurunan
kemampuan untuk batuk akibat penurunan kesadaran klien. Pada klien yang sadar
baik sering kali tidak didapati kelainan pada pemeriksaan sistem respirasi.
b. Sistem
Cardiovaskuler (Blood) : dapat terjadi hipotensi atau hipertensi, denyut
jantung irreguler, adanya murmur
c. Sistem
neurologi
1) Tingkat
kesadaran: bisa sadar baik sampai terjadi koma. Penilaian GCS untuk menilai
tingkat kesadaran klien
2) Refleks Patologis
Refleks babinski positif menunjukan adanya perdarahan di
otak/ perdarahan intraserebri dan untuk membedakan jenis stroke yang ada apakah
bleeding atau infark
3) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I: biasanya pada klien dengan stroke tidak ada
kelainan pada fungsi penciuman
b) Saraf II: disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak sensorik primer diantara sudut mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visula-spasial sering terlihat pada klien dengan hemiplegia
kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
c) Saraf III, IV dan VI apabila akibat stroke mengakibatkan
paralisis seisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral disisi yang sakit
d) Saraf VII persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat
e) Saraf XII lidah asimetris, terdapat deviasi pada satu
sisi dan fasikulasi. Indera pengecapan normal.
d. Sistem
perkemihan (Bladder) : terjadi
inkontinensia urine
e. Sistem reproduksi: hemiparese dapat menyebabkan gangguan
pemenuhan kebutuhan seksual
f. Sistem endokrin: adanya pembesaran kelejar kelenjar
tiroid
g. Sistem
Gastrointestinal (Bowel) : adanya
keluhan sulit menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut.
Mungkin mengalami inkontinensia alvi atau terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltik usus.
Adanya
gangguan pada saraf V yaitu pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis
saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah pada sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-otot
pterigoideus dan pada saraf IX dan X yaitu kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
h. Sistem
muskuloskeletal dan integument : kehilangan kontrol volenter gerakan motorik.
Terdapat hemiplegia atau hemiparesis atau hemiparese ekstremitas. Kaji adanya
dekubitus akibat immobilisasi fisik.
2.3 Diagnosa
Keperawatan
Menurut ( Barbara Engram, 1998, Doengoes, 2000, Lynda, Juall).
a. Bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi secret dan ketidak mampuan batuk efektif
sekunder akibat cedera serebrovoskular
yang ditandai dengan adanya sekret pada saluran pernapasan, suaran napas
ronkhi, adanya suara nafas tambahan.
b. Resiko
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder akibat
cedera serebrovaskuler.
c. Gangguan
eliminasi urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan lesi pada neuron motor
atas yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam eliminasi
urine, ketidakmampuan miksi.
d. Resiko
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.
e. Gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara di
hemisfer otak yang ditandai dengan kerusakan
artikulasi, tidak dapat berbicara,tidak mampu memahami bahasa tertulis/ucapan.
f. Gangguan
persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada saraf sensori,
penurunan penglihatan yang ditandai
dengan disorientasi terhadap waktu tempat dan orang, konsentrasi buruk
berubahan proses berpikir yang kacau.
g. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplagia, kerusakan
neuromuskular pada ekstremitas yang ditandai
dengan ketidak mampuan bergerak , keterbatasan rentang gerak, penurunan
kekuatan/kontrol otot
h. Gangguan
eliminasi alvi(kontispasi) berhubungan dengan defek stimulasi saraf, otot dasar
pelviks lemah dan imobilitas sekunder akibat stroke yang ditandai dengan pasien
belum BAB selama 4 hari/konstipasi,
teraba distensi abdomen.
i. Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya informasi yang diterima pasien tentang penyakit dialami oleh pasien
yanf dtandai dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi dan
tidak mengenal sumber-sumber informasi.
2.4 Intervensi
dan Rasional
a. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi secret dan
ketidakmampuan batuk efektif sekunder akibat cedera serbrovaskuler yang ditandai dengan adanya sekret pada saluran
pernapasan, suaran napas ronkhi, adanya suara nafas tambahan
Tujuan: pasien
menunjukkan bersihan jalan nafas setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil: ronkhi tidak terdengar
Px menunjukkan batuk yang efektif, frekuensi nafas 16- 20 x/menit.
Intervensi:
1) Jelaskan
kepada klien mengapa terdapat penumpukan secret di saluran pernapasan dan
kegunaan batuk efekif .
R/ pengetahuan yang diharapkan akan
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
2) Beri
minum hangat jika keadaan memungkinkan
R/ membantu pengenceran secret sehingga
mempermudah pemngeluaran
3) Ajarkan
pasien batuk efektif.
R/ batuk yang efektif dapat mengeluarkan
secret dari saluran pernapasan.
4) Lakukan
pengisapan lender, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih.
R/ pengisapan lender dilakukan untuk
mengurangi adanya penumpukkan secret dan durasinya pun dapat dikurangi untuk
mencegah bahaya hipoksia.
5) Kolaborasi
dalam pemberian bronkodilator
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan secret
karena relaksasi notot brokosposme.
6) Observasi
keadaan umum TTV
R/ mengetahui keberhasilan tindakan.
b. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia, kerusakan neuromuskular
pada ekstremitas yang ditandai
dengan ketidak mampuan bergerak , keterbatasan rentang gerak, penurunan
kekuatan/kontrol otot.
Tujuan: klien mampu meningkatkan aktivitas fisik
yang sakit atau lemah, dengan kriteria hasil:
1) Ekstremitas
tidak tampak lemah
2) Ekstremitas
yang lemah dapat diangkat dan digerakkan secara mandiri
3) Ekstremitas
yang lemah dapat menahan posisi tubuh saat miring kanan atau kiri
Intervensi:
1) Jelaskan
pada pasien akibat dari terjadinya imobilitas fisik
R/
imobilitas fisik akan menyebabkan otot-otot menjadi kaku sehingga penting
diberikan latihan gerak.
2) Ubah
posisi pasien tiap 2 jam
R/
menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah yang tertekan
3) Ajarkan
pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang sakit
R/
gerakan aktif memberikan dan memperbaiki massa, tonus dan kekuatan otot serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
4) Anjurkan
pasien melakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang tidak sakit
R/ mencegah otot volunter kehilangan tonus dan
kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan
5) Kolaborasi
dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
R/
peningkatan kemampuan daam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan
latihan fisik dari tim fisioterapi
6) Observasi
kemampuan mobilitas pasien
R/ Untuk mengetahui
sejauh mana kemampuan gerak pasien setelah di lakukan latihan dan untuk
menentukan intervensi selanjutnya.
c. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan disfagia sekunder akibat cedera
serebrovaskuler
Tujuan:Pasien
tetap menunjukan pemenuhan nutrisi selama dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria
hasil :tidak terjadi penurunan berat badan, HB dan albumin dalam batas normal HB:
13,4 – 17,6 dan Albumin: 3,2 - 5,5 g/dl.
Intervensi :
1)
Jelaskan pentingnya
nutrisi bagi klien
R/ nutrisi yang adekuat membantu meningkatkan
kekuatan otot
2)
Kaji kemampuan
klien dalam mengunyah dan menelan
R/
untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan kepada klien
3)
Letakkan kepala
lebih tinggi pada waktu selama & sesudah makan
R/
memudahkan klien untuk menelan
4) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara
manual dengan menekan ringan di atas bibir / bawah dagu jika dibutuhkan
R/membantu dalam melatih kembali sensoro dan meningkatkan kontrol
muskuler
5) Kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral atau memberi
makanan melalui NGT
R/membantu
memberi cairan dan makanan pengganti jika klien tidak mampu memasukan secara
peroral.
6) Observasi keadaan, keluhan dan asupan nutrisi
R/
mengetahui keberhasilan tindakan dan untuk menentukan intervensi selanjutnya
d.
Gangguan eliminasi alvi
(konstipasi) berhubungan dengan defek stimulasi saraf, otot dasar pelviks lemah
dan imobilitas sekunder akibat stroke ditandai pasien belum BAB selama 4 hari,
teraba distensi abdomen.
Tujuan: pasien mampu memenuhai eliminasi alvi dengan
kriteria hasil:
1) pasien
dapat defekasi secara spontan dan lancar
dengan menggunakan obat
2) konsistensi
feses lembek
3) tidak
teraba distensi abdomen
Intervensi:
1) Berikan
penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab konstipasi.
R/ konstipasi disebabkan oleh karena penurunan
peristaltic usus.
2) Anjurkan
pada pasien untuk makan makanan yang mengandung serat.
R/ diet seimbang tinggi kandungan serat merangsang
peristaltik dan eliminasi reguler
3) Bila
pasien mampu minum, berikan asupan cairan yang cukup (2 liter/hari) jika tidak
ada kontraindikasi.
R/ masukan cairan adekuat membantu mempertahankan
konsistensi feses yang sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler
4) Lakukan
mobilisasi sesuai dengan keadaan pasien.
R/ aktivitas fisik membantu eliminasi dengan
memperbaiki tonus otot abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltic
5) Kolaborasi
dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses (laksatif, supositoria, enema)
R/ pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan
air usus, yang melunakkan massa feses dan membantu eliminasi.
e.
Resiko gangguan
integritas kulit berhubungan dengan kerusakan mobilitas sekunder akibat stroke.
Tujuan:
pasien mampu mempertahankan keutuhan kulit dengan kriteria hasil:
1) Pasien
mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
2) Mengetahui
penyebab dan cara pencegahan luka
3) Tidak
ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
Intervensi:
1) Anjurkan
untuk melakukan latihan mobilisasi
R/ menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
2) Ubah
posisi tiap 2 jam
R/ menghindari tekanan yang berlebihan pada daerah
yang menonjol
3) Observasi
terhadap eritema, kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan
pelunakan jaringan tiap mengubah posisi
R/ mempertahankan keutuhan kulit
4) Jaga
kebersihan kulit dan seminimal mungkin, hindari trauma dan panas pada kulit.
R/ menghindari kerusakan-kerusakan kapiler
f.
Gangguan persepsi
sensori yang berhubungan dengan penekanan pada saraf sensori yang ditandai dengan disorientasi terhadap waktu tempat
orang, perubahan dalam respon terhadap rangsangan.
Tujuan
: meningkatnya persepsi sensorik secara optimal setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil:
1) Adanya perubahan kemampuan yang nyata
2) Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat dan orang
Intervensi:
1)
Tentukan kondisi
patologis klien
R/
untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami gangguan
2)
Kaji gangguan
penglihatan terhadap perubahan persepsi
R/untuk
mempelajari kendala yang berhubungan dengan disorientasi klien
3)
Latih klien untuk
melihat suatu objek dengan telaten dan seksama
R/agar
klien tidak kebinggungan dan lebih konsentrasi
4)
Observasi respon
prilaku klien seperti menanggis, bahagia, bermusuhan, halusinasi setiap saat
R/
untuk mengetahui keadaan emosi klien.
g.
Gangguan komunikasi
verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara di hemisfer otak yang ditandai dengan dengan kerusakan artikulasi, tidak
dapat berbicara,tidak mampu memahami bahasa tertulis/ucapan.
Tujuan
: proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal dengan kriteria hasil:
1) Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat
terpenuhi
2) Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal
maupun isyarat.
Intervensi
1)
Berikan metode
alternatif komunikasi misalnya bahasa isyarat
R/
memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan klien
2)
Antisipasi setiap
kebutuhan klien saat berkomunikasi
R/
mencegah rasa putus asa dan ketergantungan pada orang lain
3)
Bicaralah dengan
klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”
R/
mengurangi kecemasan dan kebinggunan pada saat berkomunikasi
4)
Anjurkan kepada
keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien
R/mengurangi
rasa isolasi sosial dan meningkatkan komunikasi yang efektif
5)
Hargai kemampuan
klien dalam berkomunikasi
R/memberi
semangat pada klien agar lebih sering melakukan komunikasi
6)
Kolaborasi dengan
fisioterapis untuk latihan Bicara
R/
melatih klien berbicara secara mandiri dengan baik dan benar.
h.
Gangguan eliminasi
urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan lesi pada neuron motor atas.
Tujuan
: klien mampu mengontrol urine setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan
kriteria hasil:
1) Klien melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia
2) Tidak ada distensi bladder
Intervensi:
1)
Identifikasi pola
berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering
R/
berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih yang
berlebih
2)
Ajarkan membatasi
masukan cairan selama malam
R/pembatasan
cairan pada malam hari mencegah terjadinya enuresis
3)
Ajarkan tehnik
untuk mencetuskan refleks berkemih ( rangsangan kutaneus dengan penepukan
suprapubik, manuver regangan anal)
R/ melatih dan
membantu penggosongan kandung kemih
4)
Bila masih terjadi
inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang telah
direncanakan
R/ kapasitas kandung
kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urien sehingga memerlukan
untuk lebih sering berkemih
5)
Berikan penjelasan
tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikit 2000cc perhari bila tidak ada
kontraindikasi)
R/ hidrasi
optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran kemih dan batu ginjal.
i.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang diterima
pasien tentang penyakit dialami oleh pasien. Kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurangnya informasi yang diterima pasien tentang penyakit dialami oleh
pasien yanf dtandai dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi
informasi dan tidak mengenal sumber-sumber informasi.
Tujuan: Pasien mengerti tentang penyakit yang diderita
dengan kriteria hasil:
1)
Pasien dan keluarga
tahu tentang penyakit yang diderita.
2)
Pasien dan keluarga mau
berperan serta dalam tindakan keperawatan.
Intervensi:
1) Kaji
tingkat pengetahuan pasien dan keluarga.
R/
Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiki pasien dan
keluarga dan kebenaran informasi yang didapat.
2) Beri
penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita.
R/ Penjelasan
tentang kondisi yang
sedang dialami dapat membantu menambah wawasan pasien dan keluarga.
3) Jelaskan
kepada pasien dan keluarga tentang setiap tindakan keperawatan yang akan
dilakukan.
R/ Agar
pasien dan keluarga mengetahui tujuan dari setiap tindakan keperawatan yang akan dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall.(1999) Diagnosa Keperawatan.(2000) alih bahasa Monica Ester.Jakarta : EGC
Doengus, Maryln.(1993). Rencana asuhan keperawatan.(1999).alih
bahasa Monica Ester. Jakarta: EGC.
Henger, Barbara R.(2003).Asisten Keperawatan : Suatu Pendekatan
Proses Keperawatan. EGC:Jakarta
Hudak, C.M. Gallo, B.M. (1996). Keperawatan Kritis. Pendekatan holistic Edisi
VI volume II. EGC:Jakarta
Mansjoer,
dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta:
Media Aesculapius
Muttaqin, Arif (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
salemba medika: jakarta.
Price,
Sylvia A.(2002).Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. alih bahasa Huriawati, Hartanto.(2005).
Jakarta:EGC
Smeltzer,
Suzanne.(1996). Keperawatan Medikal
Bedah.(2002) alih bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMas wocnya mana??
BalasHapusSangat baik
BalasHapus